Sabtu, 04 Juni 2011

gaya busana wanita eropa sebagai simbol status sosial tahun 1900-1940 di surabaya


 Gaya Busana Wanita Eropa ( Belanda ) Sebagai Simbol Status Sosial
Pada Tahun 1900-1940 di Surabaya

Latar Belakang Masalah
            Berkembangnya kota-kota modern di Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah memunculkan masyarakat kota yang berselera tinggi. Wilayah perkotaan dan jumlah penduduk pada masa kolonial tidak sebanyak sekarang, namun wilayahnya bisa menjadi pusat berbagai kegiatan, baik pusat pemerintahan, perdagangan, perkantoran, maupun berbagai kegiatan kebudayaan.
            Profil masyarakat kota yang tumbuh sejak masa kolonialisasi tercermin dari kebiasaan hidup sehari-hari yang mencerminkan gaya hidup modern seperti masyarakat Eropa. Kenyataan itu dapat terlihat diantaranya dari sejumlah penampilan orang Belanda dan masyarakat keturunannya. Munculnya kelas sosial baru tersebut kemudian mendukung proses pembentukan manusia kota yang cenderung menyerap segala sesuatu yang bersifat modern, baik dalam hal pola berpikir maupun dalam mengaktualisasi diri melalui barang.[1]
            Busana merupakan salah satu simbol yang paling jelas bisa dilihat dari sekian banyak simbol lainnya, karena busana dipakai sehari-hari dan merupakan ciri khas dari penampilan seseorang. Busana yang dipakai oleh satu individu dengan individu lainnya tentu berbeda, sehingga busana dijadikan sebagai alat pembeda satu orang dengan orang lainnya. Munculnya perbedaan gaya busana tersebut akhirnya menimbulkan sebuah kelompok tertentu atau strata sosial.
Penampilan luar dalam masyarakat kolonial memiliki banyak implikasi. Perubahan pada pakaian yang dikenakan seseorang bisa diartikan perubahan mata pencaharian, perubahan sistem hukum yang mengatur perbuatannya. Semua ini menunjukkan perbedaan hak dan kewajiban, naik atau turunnya status seseorang dalam kelompok yang terpisah.[2] Para wanita Eropa dalam kehidupan sehari-hari juga memakai pakaian seperti pakaian khas Indonesia, misalnya kebaya dan kain sarung. Busana tersebut biasa digunakan pada saat-saat santai dan berada di rumah.
Adopsi pakaian Barat sebagai busana perempuan di Jawa dimulai di kalangan kaum Eropa. Para perempuan dengan status Eropa yang sebelumnya tidak pernah mengenakan pakaian Barat di Hindia mulai memakai pakaian tersebut pada tahun 1890-an. Para perempuan Eropa biasanya memakai sarung atau kain dan kebaya di rumah. Pada akhir abad kesembilan belas pakaian ini hanya menjadi busana pagi hari atau ketika mereka pergi mengunjungi kawan-kawan perempuan. Sejak tahun 1890-an, ketika perempuan-perempuan Belanda memasuki ruang-ruang ria ( ruang yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial ), mereka memakai pakaian Barat. Setelan dan baju terusan di Jawa mendapatkan status sebagai seragam bagi kelas penguasa.[3]
Para perempuan Eropa menganggap bahwa pakaian merupakan sarana untuk membedakan diri mereka dengan para pelayan. Beberapa foto keluarga Indies terlihat mereka mengenakan busana Eropa yang anggun duduk diatas kursi bersama suami dan anak-anak mereka, sedangkan para pelayan memakai pakaian khas Jawa dan duduk di bawah. Keadaan ini menunjukkan bahwa para wanita Indies memakai pakaian barat seolah menunjukkan bahwa mereka menuntut penghormatan, hak-hak, dan keistimewaan seperti orang Belanda asli.
Orang Indies memiliki kebiasaan khas seperti orang Indonesia, antara lain suka memberikan hadiah kepada teman atau saudara, serta keramahan pada tamu dengan menghibur mereka agar betah berlama-lama di rumahnya. Mereka suka bercakap-cakap di luar rumah pada malam hari, berjalan-jalan dengan kereta kuda, dan bermain bola. Mereka terkesan hangat dan suka menolong sesama orang Eropa. Orang-orang Indies juga suka minum kopi di pagi hari, tidur siang, dan saling berkunjung satu sama lain. Mereka juga memakai pakaian seperti orang Jawa pada saat di rumah atau pada saat bersantai, tapi sebenarnya pakaian yang dipakai orang Indies bukanlah pakaian khas Jawa. Mereka memakai pakaian seperti kebaya dan kain batik, namun pakaian tersebut sudah dimodifikasi, bukan merupakan pakaian asli Jawa. Kebaya yang digunakan berwarna putih, dan pinggirnya diberi renda-renda, serta memakai sarung batik dengan corak batik yang berbeda dengan corak batik khas Jawa. Busana yang mereka kenakan merupakan buatan dari desainer-desainer Cina-Indonesia dan Indo.
Busana perempuan Indies kelas menengah bukanlah busana untuk bekerja. Busana ini dekoratif, tidak mengindikasikan profesi pribadi atau kekuasaan publik, tetapi mengesankan hubungan dengan pria yang memiliki kekuasaan. Pada tahun 1870-an rok-rok yang dikenakan kaku dan terdapat kawat untuk menggembungkan rok tersebut, pakaian malam hari dipotong rendah untuk memperlihatkan bahu.
Para perempuan Indies tidak secara menonjol tampil dalam berbagai foto yang mengabadikan Negara kolonial. Tempat bagi para perempuan yang berkedudukan istimewa di Hindia, sebagaimana halnya di Eropa, bukanlah di kantor pemerintahan atau bank, melainkan di rumah, dilingkungan keluarga, dan di ruang lukis. Oleh karena itu mayoritas foto yang kita miliki tentang perempuan Eropa di Jawa menunjukkan mereka sedang berada di rumah.
Setelah kekalahan keluarga kerajaan Jawa dalam perang Diponegoro, batik sebagai bahan pakaian yang eksklusif bagi keluarga kerajaan dan kaum bangsawan diambil oleh bangsa Belanda yang memenangkan perang dan dijadikan sebagai bahan pakaian pilihan. Batik digunakan sebagai bahan untuk kain para perempuan dan pakaian santai pria. Para perempuan Indo merancang batik untuk dijual kepada perempuan Indo lainnya. Industri-industri batik terbentuk di wilayah-wilayah produsen tekstil di pantai utara Jawa dan di kota-kota kerajaan di Jawa tengah. Para pengusaha batik Indo yang terkenal adalah Carolina Von Franquemont yang memulai bisnisnya sekitar tahun 1840 di Surabaya. Selain memproduksi batik dalam warna-warna tradisional krem, coklat, dan biru, para perancang Indo juga memperluas warna dengan menyertakan merah muda, merah, dan hijau. Mereka juga merupakan pencipta pola-pola dan motif-motif. Mereka melukis menurut manual-manual bordir Eropa, mereka menggambari kain dengan bunga-bunga Eropa, burung dan kupu-kupu dengan gaya naturalis. Mereka juga melukis kisah-kisah dongeng Eropa dan sosok-sosok manusia.[4]
Pakaian perempuan abad kesembilan belas berupa celana yang menggembung sampai mata kaki dan rok-rok dua bagian. Setelah tahun 1915 panjang pakaian mulai naik untuk memperlihatkan pergelangan kaki perempuan dan kemudian betis. Pada tahun 1920-an panjang pakaian telah mencapai lutut dan memperlihatkan lengan.
Mode-mode Barat dirancang untuk para perempuan kelas menengah di Eropa yang mendapatkan hak-hak untuk memilih, mencalonkan diri, memasuki dunia profesi dan bisnis sebagaimana pria. Sementara itu di Jawa para perempuan Belanda masih mengalami hambatan untuk turut memberikan suara dalam pemilihan-pemilihan lokal. Mereka lebih merupakan majikan pekerjaan domestic daripada pelopor dalam membuka bisnis dan pekerjaan-pekerjaan bagi perempuan. Penyertaan para perempuan Belanda dalam daftar tamu resmi pada upacara-upacara adalah kapasitas mereka sebagai istri. Mereka membuat penolakan resmi terhadap pengucilan perempuan yang menjadi ciri khas elit Jawa. Mereka juga mengganti wajah public melalui pendidikan formal dan dukungan kepada suami. Oleh karena itu, para perempuan Belanda di Jawa mengartikan mode-mode Barat sebagai busana bagi kelompok kelas penguasa.
Perkembangan menonjol dalam mode-mode Barat bagi perempuan adalah pada pakaian santai. Pakaian yang tidak membatasi gerak ini membawa para perempuan keluar dari rumah, ke lapangan-lapangan tenis, atau mengendarai sepeda. Oleh karena itu, mode-mode Barat membawa pesan-pesan kebebasan pribadi bagi para perempuan dan pameran kekayaan dari suami atau ayah yang mampu menyokong kehidupan publik mereka yang penuh dengan kesenangan. Semua tanda kekayaan, kebebasan pribadi, dan hak-hak istimewa perempuan yang melekat pada para penguasa ini disampaikan dalam sebuah foto yang diambil pada tahun 1930-an tentang istri Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Perempuan nomor satu Hindia ini menampilkan diri di depan umum dalam suatu acara jalan-jalan dengan mengenakan variasi baju setelan perempuan. Temannya mengenakan terusan lengan pendek. Di latar belakang, yang merupakan sebuah jalan utama di Batavia, perempuan-perempuan yang terlihat diantara para penonton hanyalah perempuan Belanda. Mereka terlihat tengah mengayuh sepeda, berpakaian lengan pendek, baju terusan sepanjang betis, mengenakan topi, sarung tangan, stoking, dan sepatu.[5]
Foto tersebut memberi kesan bahwa di dalam lingkaran-lingkaran Indies, orang-orang mudalah yang pertama kali memakai baju-baju terusan gaya Barat. Foto-foto Domestik menunjukkan seorang ayah mengenakan setelan kolonial, sang ibu mengenakan kain kebaya, dan para puteri yang berusia cukup dewasa mengenakan baju terusan. Pemakaian baju terusan gaya Barat oleh perempuan-perempuan muda Indies menjamin bahwa para pemakainya adalah lulusan sekolah-sekolah Belanda. Busana Barat menempatkan pemakainya dalam ruang melukis dan klub kolonial, bukan di dapur. Pakaian jenis ini menghubungkan para perempuan dengan wakil-wakil negeri Belanda.

Rumusan Masalah
  1. Bagaimana gaya hidup atau pergaulan para wanita Eropa ( Belanda ) di Hindia Belanda tahun 1900-1940?
  2. Bagaimana gaya busana wanita Eropa bisa menjadi symbol status social pada tahun 1900-1940 di Surabaya?
 Tujuan Penelitian
  1. Menganalisis gaya hidup atau pergaulan para wanita Eropa dalam masyarakat Hindia Belanda tahun 1900-1940 di Surabaya
  2. Menganalisis gaya busana wanita Eropa sebagai symbol status social tahun 1900-1940 di Surabaya
  3. Menganalisis kedudukan wanita Eropa dalam masyarakat Hindia Belanda
  4. Mengidentifikasi tingkat ekonomi orang Eropa dalam masyarakat Hindia Belanda
  5. Mengidentifikasi profesi wanita Eropa dalam masyarakat Hindia Belanda
 Metode Penelitian
            Dalam sitem  keilmuan, metode merupakan seperangkat prosedur, alat atau piranti  yang digunakan sejarawan dalam tugas meneliti dan menyusun sejarah. Sedikitnya ada dua pendapat tentang pengertian metode sejarah. Pertama, Gilbert J. garraghan menyatakan bahwa yang dimaksud metode sejarah adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis, dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam pengumpulan sumber, penilaian secara kritis terhadapnya, kemudian menyajikan sebagai sintesis, biasanya dalam bentuk tertulis. Jadi Garraghan menganggap metode sejarah sebagai seperangkat prinsip dan aturan yang harus dipatuhi oleh sejarawan.
Kedua, sejarawan lainnya Louis Gottschalk berpendapat bahwa metode sejarah sebagai suatu proses, proses pengujian dan analisis sumber atau laporan dari masa lampau secara kritis. Hasil rekonstruksi imajinatif masa lampau berdasarkan data atau fakta yang diperoleh lewat proses itu disebut historiografi ( penulisan sejarah ).
 Dapat disimpulkan bahwa metode sejarah, baik dalam pengertian sebagai seperangkat prinsip ataupun sebagai suatu proses terdiri dari empat langkah sebagai berikut:
1. Heuristik
            Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Dalam hal ini sumber yang dipakai adalah:
-          Sumber primer:  a.       - Arsip foto No. P08/ 433/ NIGIS
- Arsip Indische Verslagh tentang laporan tahunan pemerintahan       kota madya Surabaya tahun 1920-1928
b.      - Koran Djenggala Soerabaja 1930-1932, Port XXI No.3.
- Koran De Locomotif 1930, Q : 1-4
         - Majalah Femina Soerabaja 1934, B.1849
         - Majalah Bintang Hindia 1904, B. B4
-          Sumber skunder: Buku-buku yang dipakai antara lain Outward Appearances, karya Henk Schulte Nordholt. Kehidupan Sosial di Batavia, karya Jean Gelman Taylor. Budaya Visual Indonesia, karya Agus Sachari. Kostum Barat dari Masa ke Masa, karya Moh. Alim Zaman. Memahami Sejarah, karya Aminudin Kasdi. Kebudayaan Indies pada Abad XVIII-Medio XIX dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya, karya Djoko Soekiman. Peradaban Perkembangan Priyayi, karya Sartono Kartodirjo. Nieuw Soerabaia, karya G. H. Von Faber.
2. Kritik Sumber
            Sumber untuk penulisan sejarah ilmiah bukan sembarang sumber, tetapi sumber-sumber itu terlebih dahulu harus dinilai melalui kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan? Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu? Dengan kata lain, kritik ekstern menilai keakuratan sumber. Kritik intern menilai kredibilitas data dalam sumber. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka tulisan.
3. Interpretasi
            Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi oleh sikap obyektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap subyektif, harus subyektif rasional, jangan subyektif emosional. Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran.
4. Historiografi
            Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah) adalah merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar-benar tampak, karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah ilmiah, sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu. Selain kedua hal tersebut, penulisan sejarah, khususnya sejarah yang bersifat ilmiah, juga harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah umumnya.

Hasil Penelitian
1.      Arsip
-          Arsip Foto : No. P08/ 433/ NIGIS. Foto putrid kerajaan Belanda Yuliana yang sedang berada di lapangan terbang bersama seorang temannya. Dia memakai baju lengan panjang berwarna hitam dan rok selutut juga berwarna hitam, serta memakai scraaf berwarna putih di lehernya. Di tangannya sebelah kiri, dia memegang sebuah mantel berwarna hitam. Serta memakai sepatu pita berwarna hitam.
-          Arsip Indische Verslagh tentang laporan tahunan pemerintahan  kota madya Surabaya tahun 1920-1928. Di dalamnya berisi tentang Keadaan penduduk kota Surabaya dan Jumlah Penduduk kota Surabaya sampai akhir bulan.
2.      Koran dan Majalah
-          Koran Djenggala 1930-1932 Soerabaja, Port. XXI No. 3 : Di dalamnya terdapat foto Lina Lejeune yang sedang mengadakan sekolah untuk wanita yang akan menikah. Disana diajarkan bagaimana cara melayani dan berbuat baik kepada sang suami. Di sana para wanita Eropa ini memakai baju dengan dipasangi rok. Ada juga berita tentang para pelayan restoran yang sedang mengikuti lomba lari dengan membawa nampan yang berisi kopi. Para wanita memakai baju seragam terusan hitam dengan kombinasi putih, dengan leher setengah lingkaran berwarna putih, dan pada bagian roknya dipasangi celemek berwarna putih, serta memakai topi di atas kepalanya.
-          Koran De Locomotif 1930, Q : 1-4 : Di dalamnya terdapat Foto para bangsawan Eropa yang menghadiri acara ulang tahun seni sastra di belanda yang ke 70 di Denhaag. Di foto tersebut duduk v.l.n.r. Hugo. V. Dalen, Ms. Cremer, Evert van Eeden, Bapak dan nyonya Yoh. Master. Berdiri v.l.n.r. Nyonya. Vogel, Ms Roland-Holst, The Master, John. Master Jr Albert Vogel, Nyonya. dr. Wisssekerke cutter, Nyonya. Th. Latour, Nyonya. Kuyer- The Master. Di dalamnya juga terdapat foto Pernikahan Miss Bernice Chrysler, putri automooielfabrikant besar, ketika dia menikah dengan Edgar W. Garbish. Dengan gaun satin putih berat, disulam di depan dengan motif  manik-manik, bagian lehernya berbentuk huruf V. Mahkotanya terbuat dari mutiara. Selain itu juga terdapat foto terbaru dari Ileana, Putri 21 tahun dari roemanie (duduk), yang diambil di istana kerajaan di Bucharest bersama dengan temanya.
-          Majalah Femina 1934 Soerabaja, B.1849 : Di dalam majalah Femina terdapat berbagai model baju perempuan Eropa. Mulai dari gaun malam, baju sehari hari, baju santai, dan lain sbagainya. Pada tahun tersebut, model baju yang sedang trend berupa lipit dan balon sebagai hiasan. Selain itu yang sedang trend adalah pola organdi. Karena wanita terlihat lebih feminin, elegan dan terlihat muda.
-          Majalah Bintang Hindia 1904, B. B4 : Di dalamnya terdapat foto saudara suami baginda maharaja Koningin Wilhelmina yaitu S. J. m. m. Groothertog Friedrich Frans yang telah menikah dengan J. m. m. Prinses Alexander van Cumberland. Prinses mengenakan baju pernikahan terusan berwarna putih, dengan lengan panjang dan kerah sampai leher atas. Serta memakai mahkota di atas kepalanya dan membawa rangkaian bunga di tangannya. Di dalam majalah ini juga terdapat foto Ratu Wilhelmina yang sedang bertamasya ke Italia. Busana yang dipakai berupa baju dengan dipadukan rok panjang dan topi. Ratu berjalan-jalan di luar, di bawah sinar terik matahari. Di dalam majalah ini juga terdapat foto menantu  dari Ratu bersama Suami Ratu. Menantunya berbusana baju jas perempuan dengan lengan panjang dan kerah sampai leher, dengan memakai topi dan rok panjang.

Kendala
            Pencarian arsip di Jakarta ada beberapa kendala. Antara lain di sana arsip foto yang saya butuhkan adalah seluruh badan, tetapi dari berbagai foto yang ada hanya setengah badan, dan saya hanya menemukan 1 foto seluruh badan. Sehingga sumber saya yang paling banyak adalah berupa Koran dan majalah, karena di dalamnya memuat banyak foto yang saya butuhkan, yakni foto foto orang Eropa/Belanda seluruh badan.

Analisis
            Sumber-sumber yang saya peroleh menunjukkan bahwa memang ada orang orang Eropa yang tinggal di Surabaya. Busana yang mereka pakai di Indonesia merupakan busana yang juga biasa dipakai orang Eropa di negrinya sendiri. Wanita Eropa di Indonesia merupakan yang pertama kali memakai baju terusan. Yang mengawali memakai baju ini adalah dari kalangan muda atau remaja yang bersekolah. Busana yang digunakan wanita Eropa dalam berbagai acara atau situasi berbeda-beda. Saat berjalan-jalan di luar rumah mereka memakai baju dan rok disertai topi. Saat pesta mereka memakai gaun malam yang indah, gaun panjang dengan berbagai model. Ada yang berkerah V dan tanpa lengan, ada yang memakai lipit dan balon sebagai hiasan, ada juga yang berpola organdi dan terlihat sangat feminin dan elegan. Baju pernikahan mereka berupa gaun panjang, biasanya berwarna putih dan dihiasi mutiara serta memakai mahkota mutiara. Itu semua biasanya dipakai oleh para bangsawan Eropa. Sedangkan mereka yang hanya bekerja di took, tentu saja saat bekerja memakai baju seragam pelayan. Busana yang dikenakan wanita Eropa ini merupakan symbol status social mereka. Karena dengan memakai rok mencerminkan kebebasan, bebas berkarir dan berekspresi. Berbeda dengan wanita pribumi yang masih memakai kebaya dan jarit, menunjukkan bahwa hidup mereka terikat, dan harus pelan-pelan. Sedangkan wanita Eropa memakai rok menunjukkan bahwa mereka wanita yang bebas berekspresi, bisa melangkah dengan cepat. Mereka juga menuntut penghormatan yang lebih atas diri mereka dibanding kaum pribumi. Jadi busana yang mereka kenakan merupakan pembeda antara kaum bangsawan Eropa dengan kaum pribumi.

Daftar Pustaka
  1. Nordholt, Henk Schulte. Outward Appearances : Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta. Lkis Yogyakarta : 2005
  2. Taylor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur. Jakarta. Masup Jakarta : 2009
  3. Sachari, Agus. Budaya Visual Indonesia. Jakarta. Erlangga : 2007
  4. Alim Zaman, Moh. Kostum Barat dari Masa ke Masa. Jakarta. Meutia Cipta Sarana bersama Ikatan Penata Busana Indonesia Kartini : 2001
  5. Kasdi, Amin. Memahami Sejarah. Surabaya. Unesa University Press : 2005


[1] Sachari, Agus. Budaya visual Indonesia. Jakarta. Erlangga : 2007
[2] Taylor, Jean Gelman. Kehidupan social di Batavia. Jakarta. Masup Jakarta: 2009
[3]Nordholt, Henk Schulte. 2005. Outward Appearances. Yogyakarta: Lkis
[4] Ibid. Hal. 147
[5] ibid. Hal. 156. Gambar: Istri Gubernur Jendral Tjarda van Sarkenborgh Srachouwer dan temannya sekitar tahun 1937. Pakaian barat mereka memperlihatkan kaki dan lengan serta menekankan kontur-kontur tubuh wanita.